Oleh: laodeidacenter | 2012/02/16

Problem Demokrasi dan Transparasi Pilkada (di tengah keragaman dengan berbagai potensi konflik lokal)

Oleh Laode Ida

Pengantar

Kebijakan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung) tertuang dalam UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 6/2005 tentang Pemilihan, pengesahan  pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan akan dilaksanakannya pilkadal (pemilihan kepala daerah secara langsung) berart kita akan memasuki sejarah baru dalam pemilihan pemimpin lokal, sekaligus merupakan perwujudan dari kembalinya kedaulatan rakyat yang sebelumnya hanya menjadi milik dari sekelompok elite yang mengatas-namakan rakyat.

Kebijakan pilkada ini, bila dicermati, setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa perlu dilakukan: pertama, tuntutan demokratisasi yang tak bisa dielakkan, memerlukan penyesuaian pada proses-proses pemilihan pemimpin lokal. Kedua, tuntutan konstitusi (UUD’45 setelah diamandemen) dengan menekankan pemilihan kepala daerah yang harus dilakukan secara demokratis, di mana pemaknaan demokrasi harus diwujudkan dengan mengakui dan memberi kedaulatan kepada pemilih berbasis individu yang memenuhi syarat. Dasn ketiga, adanya kebijakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang baru saja dilaksanakan pertama kali pada tahun 2004 lalu. Sebelumnya praktik pemilihan pimpinan secara langsung hanya berlangsung pada pemilihan kepala desa atau organisasi-organisasi social yang memiliki atau sudah terlebih dahulu membangun tradxisi demokrasi.

Dengan pilkada diharapkan mampu mengurangi distorsi atau kelemahan pilkada (pemilihan kepala daerah) yang hanya dilakukan oleh DPRD. Setidaknya kepala daerah yang terpilih lebih memiliki derajat legitimasi sosial yang kuat dibanding dengan  pemilihan yang hanya dilakukan oleh para angota DPRD. Penyelenggaranya pun, yakni KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) dipandang bisa melakukan itu, demikian juga rakyat (pemilih), karena sudah pernah mengalami pemilihan presiden dan para calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).

Hambatan Potensial Pilkada

Namun demikian ada kekhawatiran atau hambatan potensial yang disebabkan oleh kelemahan kebijakan yang ada. Pertama, dengan adanya ketentuan bahwa calon kepala daerah yang hanya dapat dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol (tidak ada peluang bagi calon independent atau warga biasa), maka akan membuka peluang terjadinya strategi pasang tarif yang sangat tinggi oleh parpol untuk mencalonkan seseorang. Praktik pasang tarif oleh parpol seperti ini akan mengalahkan pertimbangan kapabilitas, kredibilitas dan rekam jejak (track record) seseorang yang menjadi calon kepala daerah, sehingga rakyat yang memilih telah dipetakompli karena disodori pilihan yang bisa jadi tidak ada yang disukainya. Akibatnya tujuan perbaikan sistim (demokratisasi) dari pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung akan sia-sia. Bahkan partisipasi masyarakat bisa menurun (apatis) jika hal ini tidak diantisipasi untuk diperbaiki, sebagaimana pernah terjadi dalam pemilihan kepala desa

Kedua, panwas tidak mempunyai kewenangan memberikan sanksi bagi pelanggar, sebagaimana panwaslu ketika pemilu presiden tahun lalu . Ini faktor yang sangat krusial, karena ketentuan sanksi bagi pelanggar tidak ada (pelanggar ketentuan tidak didiskualifikasi). Jika hal ini terulang sebagaimana pilpres yang lalu, maka akan akan sama halnya dengan kembali mempertontonkan kepada masyarakat/rakyat tentang pelanggaran aturan yhang terus dibiarkan – suatu pelajaran buruk yang boleh jadi akan menjadikan rakyat semakin apatis terhadap berbagai bentuk pelanggaran aturan yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau pihak-pihak yang terkait.

Ketiga, sebagai taruhan para bandar judi yang memang pikirannya selalu ingin bertaruh terhadap kejadian apapun di sekelilingnya, sehingga calon yang terpilih adalah yang dijagokan oleh para petaruh tertentu, dan terkait dengan pembelian suara. Hal ini juga telah sering terjadi dalam pemilihan kepala desa. Jual beli perahu atau kendaraan politik yang sekarang mulai muncul ke permukaan, menjadi awal dari “praktik judi” dari para politisi, yang akan berimplikasi pada akan tetap buruknya praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di masa-masa yang akan datang.

Keempat, adanya persyaratan minimal pendidikan formal, telah membuka peluang terjadinya pemalsuan ijasah dan peluang bisnis jual-beli ijasah (seperti penyelenggara ujian persamaan SD – Sarjana). Ini sangat membodohi rakyat. Untuk menghindari “kerepotan” penelitian yang melelahkan tanpa akhir yang baik terjadap ijazah palsu atau tidak, beli atau tidak; lebih baik tidak perlu ada persyaratan minimal pendidikan formal bagi calon. Faktor utama calon kepala daerah adalah komitmennya untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (lebih mudah dilihta dalam track record), bukan ijazah dan itu yang tahu masyarakat/pemilih.

Pilkada dalam Perbedaan Daerah

Kendati begitu, penyelenggaraan pilkadal sudah merupakan keniscayaan yang harus dihadapi, harus berjuang memanfaatkan peluang mewujjudkan demokrasi itu di tengah berbagai tantangan yang ada. Faktor-faktor kondisional daerah, juga merupakan realita lokal yang turut menjadi bagian dari tantangan, yang semuanya mesti disiasati.  Berikut ini merupakan potret abstraktif dari kondisi lokal yang menunjukkan perbedaan, yang tentu saja memerlukan berbagai strategi dan kebijakan dalam mengimplementasikan pilkadal.

(1)     Budaya politik

Di beberapa daerah masa jabatan kepala daerah pada tahun 2005 ini telah habis, sehingga diharapkan pada bulan Juni 2005. Meskipun demikian beberapa anggota KPUD di beberapa daerah merasa masa persiapan terlalu pendek (dibandingkan dengan keluarnya PP), jika dipaksakan harus dilaksanakan pada bulan Juni 2004; sehingga mereka mengusulkan kalau bisa paling cepat pilkada langsung dilaksanakan pada bulan September 2005.

Memang ada perbedaan antar daerah dalam melaksanakan pilkada, tetapi hanya perbedaan waktu pelaksanaannya saja. Sebab pada dasarnya semua daerah berdasarkan PP nomor 6/2005 dalam pilkada menggunakan sistim pemilihan langsung; kecuali DIY dan Papua . Misalnya dalam UU RI nomor 18/2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi daerah Intimewa Aceh sebagai propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dinyatakan juga bahwa pilkada dilaksanakan secara langsung. Sebagaimana bunyi pasal 12 (ayat 1): “Gubernur dan wakil gubernur Propinsi NAD dipilih secara langsung setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil”.

Sedangkan dalam UU RI nomor 21/2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi Papua dalam bentuk Wilayah berpemerintahan sendiri; pada pasal 10 (ayat 1 a) bahwa “MRP mempunyai tugas dan wewenang, bersama-sama dengan DPRD memilih, mengangkat dan memberhentikan gubernur dan wakil gubernur.

Sebetulnya perbedaan antar daerah dalam banyak hal (termasuk dalam sistim pilkada) adalah suatu keniscayaan. Sebab memang banyak yang berbeda (sistim nilai, adat istiadat dll) antara satu daerah dengan yang lainnya. Itulah sebabnya sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan sistim pilkada di Papua dengan daerah–daerah lain di Indonesia. Kenyataan seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa praktik berdemokrasi dari suatu daerah dengan daerah yang lain juga memungkinkan berbeda, tidak mutlak adanya penyeragaman cara dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

(2)     Konflik lokal

Dalam menghadapi pilkadal, daerah-daerah yang tengah, sudah dan atau rawan konflik (Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah) juga merupakan bagian dari realita lokal. Pemerintah harus mempersiapkan berbagai strategi untuk melangsungkan pilkadal di daerah-daerah itu, sebab tanpa itu bukan mustahil risiko dan atau korban di masyarakat akan sangat besar lagi.

Karakter masyarakat daerah-daerah yang sudah pernah terjadi atau sedang terjadi konflik lokalnya aganya memang harus terlebih dahulu diidentifikasi dan dipelajari sebelum menyelenggarakan pilkada. Dengan kata lain, daerah-daerah konflik haruslah  memperoleh perhatian serius dari semua pihak, dengan perlakuan yang juga harus berbeda dengan daerah-daerah lain yang tergolong stabil.

(3)     Kemampuan ekonomi

Penyelenggaraan pilkada sudah pasti memerlukan pembiayaan yang memadai, sementara kemampuan ekonomi dari setiap daerah  berbeda. Bagi daerah-daerah yang kaya (memiliki PAD yang tinggi dan atau alokasi pendanaannya dari pemerintah pusat (bagi hasil) yang besar), barangkali tak akan memiliki masalah dalam mempersiapkan dan atau mengalokasikan dana pilkadal. Tetapi sebaliknya bagi daerah-daerah yang tidak atau kurang memiliki kemampuan ekonomi, tentu akan mengalami sedikit kesulitan dalam pendanaan pilkadal. Atau, kalaupun daerah-daerah seperti yang disebutkan terakhir ini mampu membiayai sendiri biaya pilkadalnya, maka sudah pasti akan mengurangi porsi pendanaan program-program lainnya.

Pendanaan pilkada memang idealnya harus ditanggulangi sendiri oleh Pemda melalui APBD. Namun karena realita daerah-daerah kita tampaknya sebagian besar harus ditanggulangi oleh APBN. Dan kenyataan seperti ini pulalah yang harus dihadapi oleh sejumlah daerah di Indonesia yang mulai tahun ini akan menyelenggarakan pilkadal. Masalahnya adalah kalau APBN kita belum menganggarkan itu, sementara sejumlah daerah tidak memiliki kemampuan atau tidak mengalokasikan anggaran pilkadal yang memadai, maka akan mengalami masalah keuangan dalam penyelenggaraan pilkadal. Apalagi kalau pilkadal diselenggarakan dalam dua putaran, jelas memerlukan persiapan biaya ekstra.

Berangkat dari kondisi itu, tampaknya pemerintah harus melakukan  beberapa strategi dalam menghadapi perbedaan kemampuan pendanaan daerah. Pertama, melakukan pendataan dan pemetaan daerah berdasarkan kesiapan atau kemampuan ekonomi/ pembiayaannya. Dengan mengetahui kondisi kemampuan pendanaan daerah, pemerintah bisa mencari jalan keluarnjya termasuk melalui mekanisme ABT (anggaran biaya tambahan).

Kedua, menunda pelaksanaan pilkada di daerah-daerah yang diperkirakan kendanaannya terbatas. Maka jabatan kepala daerah, sama dengan daerah-daerah konflik yang masih melakukan persiapan pilkadal yang damai, yakni dipegang oleh caretaker.

(4)     Daerah bencana

Daerah yang mengalami bencana alam, tentu memerlukan perlakuan persiapan khusus pilkadal, Apalagi seperti daerah NAD (Angroe Aceh Darussalam) yang kecuali mengalami bencana maha dahsayat juga berlangsung konflik lokal yang berwatal vertikal, persiapan pilkadal yang matang.

Setidaknya terdapat dua masalah utama (yang saling terkait) di dsaerah-daerah yang mengalami bencana. Pertama, konsentrasi masyarakat dan juga pemerintah masih pada bagaimana melakukan rehabilitrasi dan atau penanganan masalah bencana. Kedua, pendanaan juga akan  banyak diarahkan pada program rehabilitasi atau penganganan bencana itu.

Sehingga dengan demikian, kondisi psikologis semua pihak tak akan terarah pada pilkadal, melainkan pada bagaimana survive dari permasalahan yang menimpa mereka itu. Dan kalau pilkadal harus dipaksanakan dalam kondisi seperti itu, kwalitas pemimpin daerah yang dihasilkan pun tentu tidak akan maksimal, selain tentu saja kemungkinan partisipasi pemilih akan rendah.

(5)     Kekuasaan lokal dan penyelenggara pemilu

Pada tingtkat lokal juga terjadi variasi relasi kuasa dengan penyelenggara pemilu. Faktor ini sangat penting untuk mendapat perhatian karena penyelenggaraan pemilu yang berkjualitas dan melahirkan pemimpin lokal yang bersih dalam rangka menciptakan pemerintahan daerah yang baik.

Hubungan kepala daerah yang sedang menjabat dan kembali hendak mencalonkan diri dengan ketua/anggota KPUD. Kalau hubungannya  berdasarkan emosional antara anggota-anggota KPUD dengan kepala daerah, baik dari segi primordial (keluarga, suku, klen, agama) maupun politik, maka besar kemungkinan pihak KPUD akan sulit bersikap netral. Apalagi KPUD memiliki ketergantungan pendanaan dari APBD, maka akan sangat sulit untuk  bersikap netral. Demikian juga hubungan antara parpol-parpol yang mengajukan pasangan calon dengan KPUD., harus memperoleh perhatian untuk dipantau dan atau diawasi, sehingga KPUD bisa benar-benar netral.

Potensi Konflik dalam Pilkada

Ketegangan dalam proses-proses penyelenggaraan pilkada niscaya tak bisa dihindari. Secara teoretik hal itu akan dengan mudah difahami, karena perebutan posisi kekuasaan yang tunggal dan langkah oleh banyak pihak yang berbagai movitasi dan kepentingannya. Setidaknya akan ada lima faktor yang menjadi potensial munculnya konflik dalam proses-proses pencalonan dan pemilihan kepala/wakil kepala daerah.

Pertama, perbedaan tafsir atas UU No. 32 dan PP No. 6/2005. Konflik antara calon/pasangan calon potensial dengan parpol/gabungan parpol yang berhak (memenuhi syarat) untuk mengajukan calon. Pasal 37 ayat (3) PP No. 6/2005: “parpol atau gabungan parpol sebelum menetapkan pasangan calon wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dilakukanpenyaringan sebagai bakal calon”, ayat (5): “proses penyaringan bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara demokratis dan transparan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam parpol atau gabungan parpol, dan ayat (6): “dalam proses penetapan pasangan calon parpol atau gabungan parpol wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat”.

Ayat-ayat tersebut membuka ruang lebar terjadinya perbedaan penafsiran antara parpol/gabungan parpol sebagai pemilik otoritas pencalonan dengan pihak figure-figur perorangan yang merasa diri atau diposisikan sebagai layak untuk dijaring menjadi calon. Kalau pihak parpol memutuskan tanpa memperhatikan tanggapan atau pendapat masyarakat, maka kemungkinan besar parpol bersangkutan akan dipersoalkan bahkan bukan mustahil akan di bawah ke pihak yang berwenang untuk diputuskan secara hukum (mungkinan Mahkamah Konstitusi/MK). Ini termasuk di dalamnya tafsir istilah “demokratis” dan “transparan” dalam setiap proses penyaringan bakal calon, diperkirakan merupakan cela yang sangat rawan konflik.

Kedua, jual beli kendaraan politik/pintu masuk. Parpol/gabungan parpol sebagai pemilik otoritas pencalonan atau sebagai pemilik kendaraan politik untuk absahnya masuk sebagai calon/pasangan calon, sebagaimana sudah menjadi kenyataan sekarang ini, sangat besar peluangnya untuk memasang “tariff kendaraan” bagi mereka yang hendak masuk bertarung. Kecenderungan ini sudah pastilah akan menggeser para calon yang mungkin saja memiliki kredilibitas, kapasitas dan derajat penerimaan masyarakat yang kuat sebagai konsekwensi dari ketak mampuannya atau ketak mauannya dalam memenuhi permintaan parpol. Sebaliknya yang akan berpeluang adalah mereka-mereka yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk membeli kendaraan politik itu. Sudah pastilah, akan sulit mengontrol pihak parpol untuk memperjualbelikan kendaraan politiknya itu. Setidaknya sulit untuk membuktikan dugaan adanya transaksi busuk seperti itu.

Tetapi, sebagai praktik busuk, pastilah selalu bisa tercium. Cara-cara pendeteksian sudah pasti bisa dilakukan untuk membuka praktik-praktik itu, seperti melalui strategi spionase, penggunaan alat-alat teknologi deteksi, dsb. Masalahnya kemudian, kalau praktik itu bisa dibuktikan, maka akan melahirkan reaksi social yang cukup kuat bukan saja dari pihak yang terkalahkan (tak bisa masuk) melainkan juga akan menimbulkan kemarahan social. Kalau proses pemilihan kepala daerah diteruskan dengan menampilkan pasangan calon yang terbukti membeli perahu, maka bukan mustahil konflik terbuka antar pendukung akan terjadio, termasuk di dalamnya akan berbahaya bagi parpol/gabungan parpol yang terlibat di dalamnya.

Ketiga, kepentingan/emosi etnik. Daerah kita di nusantara ini, pada realitasnya merupakan komunitas berbasis etnik atau sub etnik dengan sub kulturnya sendiri-sendiri. Kalau hari-hari ini, utamanya sejak diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah (otoda), muncul istilah putra daerah versus pendatang, maka sebenarnya hal itu merupakan ekspresi daerah semangat etnik ke daerahan. Secara umum, mereka –mereka yang terpengaruh dengan istilah putra daerah, berpandangan dan sekaligus mengharapkan bahwa yang berhak memimpin daerah adalah mereka-meraka yang secara etnik dan budayanya sejak nenek moyang turun temurun di dalam wilayah geografis yang bersangkutan. Dalam konteks ini, komunitas pendatang seolah-olah menjadi warga negara kelas dua di daerah yang bersangkutan – suatu pandangan, sikap dan perlakuan social yang diskriminatif.

Pada tingkat lokal sendiri, yang mengkategorikan diri sebagai putra daerah juga biasanya terdiri dari beberapa etnik atau sub etnik dengan identitas budayanya masing-masing. Di antara mereka juga niscayalah akan terjadi ketegangan dalam proses-proses pemilihan kepala daerah, ketegangan mana, dalam masyarakat yang paternalistic seperti Indonesia ini biasanya dimulai dari kesadaran para elitenya  yang memperoleh dukungan emosional dari komunitas basis etniknya  yang kemudian, secara sadar atau tidak, dikapitalisasi oleh para elitenya itu. Dan ketika, kepentingan mereka tak terakomodasi di tengah kelarutan dalam emosi perebutan kekuasaan, tak mustahil akan terjadi konflik manifest yang membawa korban social dan materinya.

Keempat, kepentingan/emosi agama. Seperti yang terjadi di berbagai daerah, termasuk di Sulawesi Tengah ini, konflik kepentingan yang kemudian dimainkan atas nama dan atau membawa label agama sering menimbulkan banyak korban manusia dan materi. Proses-proses pilkada juga bisa menjadi momentum munculnya keretakkan dengan basis agama. Para calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang berasal dari suatu kelompok agama tertentu dan atau yang memiliki kesadaran bahwa identitas agama perlu terjelma dalam pembagian kekuasaan, sudah pastilah akan memainkan isu-isu agama ini – kendati dengan cara-cara yang terselubung.

Kebiasaan kita selama ini yang selalu berusaha memutupi masalah agama dalam distribusi kekuasaan dan sumber langka lain yang diperebutkan, sadar atau tidak, sebenarnya telah membungkus potensi konflik yang setiap saat bisa meletup dengan suatu factor pemicu tertentu yang kerap tak diduga sebelumnya. Proses pilkada, kalau tidak dikelola secara baik, bukan mustahil akan bisa merupakan peluang untuk terbukanya konflik yang selama ini terbungkus dengan rapi itu. Apalagi di daerah-daerah yang kekuatan basis identitas agamanya relatif cukup berimbang.

Kelima, kepala daerah yang bermasalah. UU No. 32/2004 hanya menekankan aspek hukum formal sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon/pasangan calon.  Pasal 58, misalnya, mengatakan bahwa calon/pasangan calon “tak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau lebih”. Padahal kenyataan yang terjadi di banyak daerah sekarang ini, kepala daerahnya sudah terindikasi bermasalah yang pada tingkat tertentu memperoleh penolakan signifikan dari kelompok-kelompok masyarakat yang kritis di tingkat lokal. Tetapi suara dari kelompok-kelompok yang kritis ini besar kemungkinan akan selalu terabaikan.

Upaya Antisipasi Konflik Lokal

Upaya-upaya berikut ini diharapkan bisa dilakukan pemerintah sebelum menyelenggarakan pilkadal di daerah-daerah konflik atau rawan konflik.

Pertama, melakukan pemetaan tentang kondisi sosial politik dan budaya di daerah-daerah konflik atau rawan konflik itu. Dengan pemerintahaan diharapkan bisa memperoleh gambaran konstelasi politik, struktur budaya, dan kondiksi psiko-politik di daerah-daerah itu sehingga bisa melakukan berfbagai persiapan untuk menghindari terjadinya konflik dalam pilkada.

Kedua, melakukan pendidikan pemilih mulai dari masyarakat akar rumput hingga pada para elitenya. Fokus pendidikan pemilihnya adalah tentang kesadaran untuk membangun (kembali) modal sosial, dan atau pentingnya mempertahankan modal solsial di tingkat lokal, bahaya-bahaya konflik sosial politik, dan hal-hal lain yang terkait. Kesepakatan sosial dan politik untuk menyelenggarakan pilkadal perlu dicapai melalui pendikdikan politik pemilih itu.

Ketiga, membangun kesepakatan di antara para calon untuk membangkitkan semangat kebersamaan. Kesepakatan khusus bisa dibangun melalui parpol dan para calon yang bertarfung. Proses membangun kesepakatan itu juga harus dilakukan secara transparan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan yang berlebihan dari pihak lain atau masyarakat umum.

Keempat, menciptakan transparansi dalam pengelolaan anggaran permilu. Pengelolaan anggaran pemilu yang tertutup sangat berbahaya di daerah-daerah konflik, karena akan memunculkan perasaan saling curiga di dalam masyarakat, yang pada akhirnya membangkitkan semangat permusuhan. Sebaliknya dengan menciptakan system yang transparan, bisa meminimalisir rasa saling curiga.

Kelima, bagi daerah-daerah konflik atau rawan konflik, sebelum meyakini adanya kesiapan psiko-sosial masyarakatnya, sebaliknya jadwal pilkadal diundur. Caretaker sudah pasti diperlukan untuk sekaligus mempersiapkan pilkadal yang bebas konflik.

Keenam, setiap parpol/gabungan parpol yang akan mengajukan calon/pasangan calon kepala daerah harus membuat indicator (yang dilakukan secara partisipatif dengan stakeholders di tingkat lokal) yang berisikan tentang tafsir obyek mengenai istilah demokratis dan transparan seperti yang dimaksudkan dalam peraturan pemerintah di atas.

Ketujuh, daerah-daerah yang kepala daerahnya terindikasi bermasalah sebaiknya dipercepat kejelasannya, dan atau diminta secara legawa untuk tidak mencalonkan diri kembali. Sebab kalau mencalonkan diri dan kemudian terpilih, maka konsentrasi yang bersangkutan tidak pada menjalankan amanah rakyat, melainkan lebih pada upaya bagaimana menyelesaikan persoalannya.

Masalah Demokrasi Pasca-Pilkada
Catatan berikut merupakan sekelumit permasalahan yang mungkin akan muncul dalam upaya mewujudkan demokrasi setelah kepala daerah terpilih:
•    Arogansi kepala daerah karena merasa memilih legitimasi social yang sangat kuat (dipilih langsung oleh rakyat)
•    Perilaku kepala daerah yang cenderung korup karena berupaya memperoleh kembali uangnya yang telah habis digunakan dalam proses-proses pilkada, utamanya mereka yang berkorban dalam membeli kendaraan politik/pintu masuk. Apalagi kalau kondisi kontrol masyarakat yang akan selalu terabaikan.
•    Korupsi politik (political corruption), akan tetap terjadinya pemberian keistimewaan fasilitas terhadap parpol/gabungan parpol yang menjadi kendaraan politiknya. Termasuk di dalamnya adalah bagi-bagi proyek dan jabatan berdasarkan pertimbangan balas jasa.
•    Kesewenangan kontrol DPRD (dari parpol/gabungan parpol mayoritas) terhadap kepala daerah terpilih dengan basis dukungan parlemen lokal yang lemah.


Tinggalkan komentar

Kategori